Suku Tengger berasal dari Gunung Bromo, Jawa Timur. Sebagian dari mereka menempati wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Bahasa suku Tengger termasuk rumpun bahasa Jawa. Umumnya suku Tengger beragama Hindu. Suku Tengger memiliki budaya dan adat istiadat yang sudah dilakukan secara turun temurun. Suku ini memiliki upacara Yadnya Kasada atau Kasodo yang dilakukan di bawah kaki gunung Bromo. Mengenal Suku Tengger Suku Tengger memiliki beragam budaya dan adat istiadat yang diturunkan dari beberapa generasi. Mengutip buku "Keajaiban Bromo, Tengger, Semeru" yang ditulis Jati Batoro, berikut fakta-fakta tentang Suku Tengger. 1. Rumah Adat Suku Tengger Suku Tengger memiliki rumah adat yang dibangun di sekitar lereng gunung Bromo, dusun Cemoro Lawang desa Ngadisari kecamatan Sukapura. Mengutip dari rumah adat suku Tengger sebagian besar konstruksinya terbuat dari kayu. Rumah ini disesuaikan dengan alam sekitar, sehingga menjadi hunian yang nyaman untuk ditinggali. Rumah adat suku Tengger tidak bertingkat seperti rumah panggung. Bagian ujung atap memanjang tinggi sementara bagian sampingnya rendah. Rumah ini hanya memiliki dua jendela. 2. Bahasa Suku Tengger Masyarakat Tengger memakai bahasa Jawa-Tengger untuk berkomunikasi. Bahasa Tengger dibagi menjadi menjadi dua tingkatan yaitu bahasa ngoko dan kromo. Bahasa kromo dipakai untuk orang yang lebih tua, sementara ngoko dipakai untuk umur sebaya. Suku ini masih mempertahankan bahasa Kawi. Contohnya reang yang artinya aku, eyang untuk laki-laki, dan pemakaian kata ingsun untuk aku perempuan. Beberapa desa memiliki perbedaan logat, misalnya akhiran A bukan seperti bahasa Jawa yang berakhiran O. Bahasa Sansekerta biasanya dipakai oleh Dukun Tengger dan pembantu Dukun. Pemakaian bahasa tersebut untuk berdoa ketika upacara adat Tengger. 3. Agama Suku Tengger Awalnya suku Tengger menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Lalu perkembangan agama Hindu dan Budha mewarnai masyaratak ketika zaman kerajaan Majapahit. Kepercayaan ini kemudian diwariskan oleh nenek moyang mereka hingga kini. Meski demikian, agama baru ini tetap mempertahankan adat istiadat yang ada. Berdasarkan Tetua Adat dan agama di Indonesia, agama Suku Tengger dibagi menjadi 5 yaitu Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik. Sementara itu adat kepercayaan masih dipengaruhi oleh animisme dan legenda tentang Gunung Bromo dan Semeru. Kedua gunung tersebut dianggap tempat suci dan keramat yang diwariskan secara turun temurun. Adat budaya yang diwariskan leluhur mengajarkan budi pekerti dan ikatan persaudaraan. Masyarakat Tengger menganut filsafat hidup atau Kawruh Budha yang menjelaskan tentang pengetahuan watak. Ada serangkaian upacara yang dilakukan suku Tengger berkaitan dengan agama Hindu seperti Galungan, Nyepi, Saraswati, Pagar Wesi. Istilah Dukun Tengger adalah Dukun Pandhita, seseorang yang sangat dihormati dalam pemimpin upcara adat pemeluk agama Hindu dan Budha. Tempat ibadat agama Hindu tertua di Jawa yaitu Pura Agung Mandala Giri di Senduro Lumajang. Ada juga Pura Poten bercorak Jawa Tengger yang berada di lautan pasir gunung Bromo. Tempat ibadah agama Budha ada Wihara Paramitha Budha yang berada di desa Ngadas. 4. Tradisi Suku Tengger Adat istiadat budaya Tengger merupakan adaptasi turun temurun. Ada penanggalan Tengger yang digunakan untuk hari, bulan, dan tahun. Sistem penanggalan ini dipakai untuk tanda-tanada kejadian alam, pertanian, peternakan, dan bidang budaya. Berikut penjelasan mengenai penanggalan suku Tengger Bulan pertama disebut Kasa. Bulan kedua kedua disebut Karo. Bulan ketiga disebut Katiga. Bulan keempat dinamakan Kapat. Bulan kelima disebut Kalima. Bulan keenam adalah Kanem. Bulan ketujuh adalah Kapitu. Bulan delapan adalah Kawolu. Bulan kesembilan adalah Kasanga. Bulan 10 adalah Kasepuluh. Bulan 11 adalah Dhesta. bulan 12 disebut Kasada. 5. Upacara Adat Kasada TRADISI YADNYA KASADA ANTARA FOTO/Zabur Karuru/foc. Upacara ini disebut hari raya YadNya Kasada yang dilakukan pada bulan ke-12 Kasada yang bertepatan dengan bulan purnama. Adat Kasada merupakan ucapan terimakasih kepada Sang Hyang Widhi bahwa masyarakat Tengger diberi kenikmatan, keselamatan, kesehatan, dan kebahagiaan, rejeki, dan kelimpahan hasil bumi. Prosesi upacara dimulai dengan Medak Titro atau pengambilan air suci yang disimpan dalam gua Widodaren. Air ini dilengkapi dengan sesajen yang disebut Nglukat Umat. Adat Kasada dilakukan di balai desa Ngadisari. Ada berbagai acara seperti menjual produk lokal dan hasil bumi unggulan, sore hari ada pawai obor, dan pacuan kuda. Tetua adat mempersiapkan ongkek yang terbuat dari jenis bambu jajan, bambu betung, atau kayu cemara. Ongkek ini dilengkapi dengan berbagai hasil panen yang dihasilkan tanah Tengger. Pada sore menjelang malam hari ketika bulan purnama, ada pertunjukan seni drama tari yang menceritakan Joko Seger dan Roro Anteng diiringi gamelan. Malam harinya, masyarakat suku Tengger mempersiapkan ongkek bersama-sama melewati Cemoro Lawang menuju Pure Poten atau Pure Sakral. Pura ini menjadi tempat berlangsungnya upacara adat Kasada yang berada di kaki gunung Bromo dan gunung Batok. Ongkek ini dipikul diterangi obor. Setelah memasuki Pura Poten diiringi gamelan lalu mulai upacara adat. Ongkek berisi berbagai tanaman budidaya suku Tengger, ada juga bahan ritual, dan jajanan pasar. Tanaman budidaya Tandur Tuwuh ini seperti kentang, bawang prei, kelapa, gandung, padi, siyem, srikoyo, dan sayuran lainnya. Ada juga hewan kurban seperti ayam, kambing, dan domba. Acara selanjutnya dari Adat KAsada adalah Korban Labuhan yang dilakukan pukul pagi. Ongkek dan Tandur Tuwuh dipersembahkan ke kawah gunung Bromo. Upcara Labuhan ini dilakukan tetuan adat memasukkan ongkek dan tandur tuwuh di gunung itu. Masyarakat membuang tandur tuwuh dan berdoa untuk kesehatan, kemakmuran, dan rejeki. Ada juga mengambil benda-benda bermanfaat seperti uang, kentang, daging ayam, kue yang dilarung ke gunung Bromo disebut marit. 6. Adat Karo Karo dikenal sebagai pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi Wasa, penghormatan roh leluhur, dan kesucian manusia. Perayaan dilakukan dengan cara membersihkan diri, rumah, rumah ibadah, balai desa, makam, sampai lingkungan desa. Masyarakat Tengger yang lain menghormati adat Karo dengan cara bersih desa. Adat Karo ini dilakukan selama 2 minggu meliputi berbagai kegiatan seperti Ngumpul musyawarah, Mepek mencukupi kebutuhan, Tekane Ping Pitu, Prepegan, Sodoran tarian daerah, Sesanding, Nyadran, dan Mulihe Ping Pitu. Upacara adat Nyadran menyiapkan sesaji ke tempat makan yang dipimpin oleh ketua adat. Upacara ini menjelaskan tentang kehidupan manusia dari awal kelahiran sampai kematian. Setelah adat Nyadran ada acara selamatan yang dilakukan masyarakat. Acara ini menghadirkan tari Tayup dan tari Ujung-Ujungan. 7. Adat Unan-Unan Upacara adat selamatan suku Tengger yang diadakan 5 tahunan sesuai perhitungan kalender Tengger. Unan-Unan berasal dari Nguno, artinya adalah memanjangkan bulan yang dilakukan setiap 5 tahun sekali. Upacara Unan-Unan dini dilakukan di tempat sakral seperti Sanggar Pamujan. Hewan kerbau digunakan sebagai korban. Mitos upacara ini dahulu hewan besar dipakai sebagai persembahan terhadap buta kala yaitu Buta Galungan, Dunggulan, dan Amangkurat. Upacara dilakukan supaya masyarakat terhindar dari gangguan dan penyucian dari kegelapan. Pelaksanaan upacara dilakukan dengan kepala kerbau, kulit kerbau, dan 100 sesajen yang diletakkan dalam wadah besar. Sesajen ini kemudian diarak dari Balai Desa ke Sanggar Pamujan. 8. Adat Entas-Entas ONGKEK YADYA KASADA ANTARA FOTO/Zabur Karuru/hp. Upacara adat ini dilakukan dengan mensucikan arwah leluhur agar mudah memasuki alam lelanggit. Menurut ketua adat, Entas-Entas adalah upacara sakral yang dilakukan selama 3 sampai 4 hari. Urutan upacara Entas - Entas, yaitu Resik, Sedekah, Andeg-andeg Klakah, Menduduk, Kayopan Agung, dan Nglukat. Untuk mendukung acara ini dilakukan dengan penyembelihan sapi, kambing, babi untuk agama Hindu. Kuda dipakai sebagai alat transportasi pawai dan arak-arakan desa. Upacara adat ini dilengkapi dengan sesajen yang terdiri dari tumpeng, gedang ayu, nasi, ayam panggang, kupat, lepet, banyu suci. Ada juga tanaman seperti daun pandan, bunga soka, piji, alang-alang, tebu, dan pisang. Ketika upacara Nglukat, dilakukan penyebaran beras yang diikuti ayam dan bebek. Ada juga acara arak-arakan diiringi gamelan menuju makam. Ketika berjalan ke area makam dilakukan pembakaran kemenyan, pemecah telur, dan menyebar berbagai bunga. Ketika malam hari dilakukan acara tandakan yang menampilkan tari Sayup yang diiringi musik gamelan. 9. Upacara Pujan Mubeng Upacara adat dilakukan pada bulan kesembilan atau Kesanga, setelah bulan purnama. Masyarakat Tengger berjalan dari batas desa bagian timur mengelilingi empat penjuru desa. Upacara ini dilakukan untuk membersihkan desa dari gangguan dan bencana alam. Perjalanan keliling upacara diakhiri dengan makan bersama di rumah tetua adat. 10. Upacara Liliwet Upacara ini diadakan dengan setiap rumah penduduk. Upacara Liliwet dilakukan dengan pemberian mantra seluruh bagian termasuk pekarangan agar terhindar dari malapetaka. Tempat yang diberi mantra yaitu dapur, pintu, tamping, sigiran, dan empat penjuru pekarangan. 11. Upacara Barikan Dari jurnal "Sekilas Tentang Masyarakat Tengger" yang dibuat oleh Ayu Sutarto, upacara Barikan dilakukan masyarakat Tengger setelah gempa bumi, bencana alam, gerhana, dan peristiwa lain. Upacara ini dilakukan jika ada pertanda buruk terhadap kejadian alam. Masyarakat adat melakukan upacara Barikan selama 5-7 hari setelah peristiwa. Upacara ini dilakukan untuk memberi keselamatan dan menolak bahaya yang akan datang. 12. Upacara Kematian Upacara ini dilakukan dengan gotong royong. Tetangga memberi perlengkapan dan keperluan untuk upacara penguburan. Nglawu adalah bantuan pemberian seperti uang, beras, kain kafan, dan gula pada keluarga. Mayat dimandikan di atas balai-balai. Tetua adat membersihkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, tetua adat memberikan siraman air yang telah diberi mantra. Tanah yang diberi air kemudian digali untuk liang kubur. Mayat suku Tengger dibarikan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Sorenya keluarga mengadakan selamatan. Orang yang meninggal kemudian diganti dengan boneka yang disebut bespa. Boneka dini terbuat dari bunga dan dedaunan yang diletakkan di atas balai-balai berbagai macam sajian.
NoAsal Daerah Nama Suku Bangsa 1 Aceh Aceh, Gayo, Tamiang, Alas, Simeuleu 16 Jawa Timur Jawa, Madura, Tengger 17 Kalimantan Barat Melayu dan Dayak 18 Kalimantan Timur Melayu dan Kutai Keberagaman budaya berupa tari-tarian daerah dan lagu daerah juga dimiliki oleh masing-masing daerah. Untuk mengetahui karakteristik masing-masing suku - Tengger merupakan suku yang mendiami dataran tinggi di sekitar Pegunungan Tengger yang juga meliputi wilayah Gunung Bromo dan Semeru. Suku ini disebut sebagai salah satu peradaban yang sudah ada sejak Kerajaan banyak teori dari ahli mengenai asal mula suku Tengger. Namun, masyarakat suku Tengger percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Majapahit. "Wong orang Tengger secara harfiah diterjemahkan sebagai orang-orang dataran tinggi, tanpa bisa diketahui istilah Tengger itu terglong dalam bahasa apa," tulis Rouffear, dikutip dari Suku Tengger dan Kehidupan Bromo yang disusun Pusat Data dan Analisa Tempo. Kemudian, dilansir dari Perubahan Ekologis Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah Pegunungan Tengger karya Yulianti, secara etimologi "tengger" berasal dari bahasa Jawa yang artinya tegak, diam tanpa bergerak. "Sedangkan apabila dikaitkan dengan kepercayaan yang hidup dalam masyarakatnya, tengger merupakan singkatan dari tengering budi luhur," papar Yulianti. Baca juga Kawasan Bromo Tengger Semeru Jadi Habitat Ideal bagi Elang Jawa Sejarah suku Tengger Shutterstock/Eva Afifah Anak Suku Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur DOK. Shutterstock/Eva Afifah Sejak masa kerajaan Hindu di Pulau Jawa, pegunungan Tengger diakui sebagai tempat suci yang dihuni abdi spiritual dari Sang Hyang Widi Wasa. Abdi ini disebut juga sebagai hulun. Yulianti, dalam bukunya, menyebutkan bahwa hal tersebut dibuktikan dengan Prasasti Walandhit yang berangka 851 Saka atau tahun 929 Masehi M. Tertulis bahwa sebuah desa bernama Walandhit di Pegunungan Tengger merupakan tempat suci yang dihuni oleh Hyang Hulun atau abdi Tuhan. Prasasti itu ditemukan di daerah Penanjakan Desa Wonokitri Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Prasasti tersebut berangka tahun 1327 Saka atau 1405 M. Pada awal abad ke-17, Kerajaan Mataram Islam mulai memperluas kekuasaannya hingga ke Jawa Timur. Namun, rakyat di daerah Tengger masih mempertahankan identitasnya dari pengaruh Mataram. Sayangnya, pada 1764 masyarakat Tengger terpaksa takluk pada pemerintah Belanda. Pada 1785, Belanda mulai mendirikan tempat peristirahatan Tosari dan menanam sayuran Eropa, seperti kentang, wortel, dan kubis. "Situasi politik pada abad ke-19 berubah. Kekurangan penduduk di daerah Tengger dan sekitarnya menarik para pendatang dari daerah lain yang mulai memadat," imbuh Yulianti. Baca juga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Siap Dibuka jika Ada Arahan dari Pusat Legenda suku Tengger Sebagaimana kebanyakan suku di Indonesia, suku Tengger juga memilki legenda. Legenda tentang asal mula Tengger ini bermula dari Rara Anteng dan Jaka Seger. Dilansir dari Cerita Rakyat Nusantara Pusaka Ampuh Jaka Tengger dan Kisah-kisah Lainnya karya Subiharso, Rara Anteng merupakan seorang putri dari Kerajaan Majapahit. Sang putri berlindung di wilayah Penanjakan setelah Majapahit mengalami pergolakan. Rara Anteng kemudian diangkat menjadi putri seorang Resi bernama Dadap Putih. Keduanya hidup bahagia di daerah pegunungan tersebut. ANTARA FOTO/ZABUR KARURU Masyarakat Suku Tengger dengan mengenakan masker berada di mobil bak terbuka menuju kawasan Gunung Bromo untuk melaksanakan perayaan Yadnya Kasada, Probolinggo, Jawa Timur, Senin 6/7/2020. Perayaan Yadnya Kasada merupakan bentuk ungkapan syukur masyarakat Suku Tengger dengan melarung sesaji berupa hasil bumi dan ternak ke kawah Gunung Bromo. Di sisi lain, Jaka Seger yang berasal dari Kediri juga terpaksa mengasingkan diri karena situasi kerajaan yang kacau. Ia tinggal di Desa Keduwung, sembari mencari keberadaan pamannya yang tinggal di sekitar Gunung Bromo. Singkatnya, sang putri bertemu dengan Jaka Seger. Keduanya jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah. Akan tetapi setelah menunggu selama sewindu, keduanya belum juga dikaruniai seorang anak. Rara Anteng dan Jaka Seger pun memutuskan untuk bertapa. Baca juga Wisatawan Masih Berusaha Masuk ke Bromo saat Tutup akibat PPKM Setelah bertapa selama enam tahun, permohonan keduanya dikabulkan. Namun, permintaan tersebut harus dibayar dengan nyawa sang anak bungsu. Rara Anteng dan Jaka Seger harus menumbalkan anak bungsunya ke dalam kawah Bromo sebagai syarat. Keduanya pun dikaruniai 25 orang anak. Suatu hari, Gunung Bromo bergemuruh. Rara Anteng dan Jaka Seger tahu bahwa inilah saatnya menyerahkan putra bungsu yang bernama R Kusuma. Sayangnya, mereka belum rela mengorbankan sang putra. Keduanya lalu menyembunyikan R Kusuma di daerah Ngadas. Baca juga Kapan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Buka? Desa Wisata Sesaot NTB, Jalur Geowisata Suku Sasak Kuno Akan tetapi, letusan Gunung Bromo yang dahsyat ternyata menjangkau tempat persembunyian R. Kusuma. Putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger kemudian tersedot masuk ke dalam Gunung Bromo. Saat itulah terdengar pesan dari R Kusuma yang ingin saudaranya untuk tetap hidup rukun. Ia juga mengaku rela menjadi persembahan demi kesejahteraan dan kerukunan orangtua beserta para saudaranya. R Kusuma juga berpesan untuk mengirimkan hasil bumi ke Gunung Bromo setiap tanggal 14 Kasada. Dari legenda inilah nama Tengger berasal dari nama Rara Anteng dan Jaka Seger yang dipercaya menjadi cikal bakal masyarakat di wilayah tersebut. Agama dan keyakinan suku Tengger Shutterstock/priantopuji Suku Tengger dalam upacara adat Yadnya Kasada DOK. Shutterstock/priantopuji Dilansir dari Keajaiban Bromo Tengger Semeru karya Jati Batoro, masyarakat Tengger awalnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme. Ajaran agama Hindu dan Buddha mulai berkembang di wilayah suku Tengger seiring perkembangan Majapahit. Kepercayaan tersebut menjadi agama yang akhirnya diwariskan nenek moyang hingga generasi suku Tengger masa kini. "Agama kerajaan Majapahit termasuk agama Hindu-Buddha dengan cirah lokal. Hal ini dapat dimengerti masyarakat lokal dan masyarakat Jawa-Majapahit yang berpindah ke Tengger lalu melakukan asimilasi menjadi suku Tengger," tulis Batoro. Perkembangan agama dan kepercayaan di suku Tengger sejalan dengan perkembangan agama di Indonesia. Akan tetapi, mayoritas suku ini menganut agama Buddha Mahayana. Adanya percampuran kepercayaan animisme dan dinamisme yang masih cukup kental di suku Tengger, membuat masyarakatnya menyakralkan Gunung Bromo dan Semeru. Baca juga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Perpanjang Waktu Penutupan Berdasarkan kepercayaan suku Tengger, Gunung Bromo dan Gunung Semeru merupakan tempat suci dan keramat yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Suku Tengger pun memegang erat tradisi yang diturunkan oleh leluhur. "Masyarakat suku Tengger, baik yang masih beragama Hindu maupun yang sudah beragama Islam sampai saat ini masih tetap memegang tradisi dan nilai-niai budaya yang luhur, sebagai warisan dari nenek moyang yang pernah jaya pada zaman Majapahit," tulis Yulianti. Upacara adat suku Tengger Shutterstock/syamhari photography Upacara Adat Yadnya Kasada Suku Tengger DOK. Shutterstock/syamhari photography Menurut Yulianti, ada banyak upacara adat yang sampai saat ini masih dilakukan secara rutin oleh suku Tengger. Upacara adat tersebut terbagi dalam tiga jenis. Pertama adalah upacara adat terkait kehidupan masyarakat. Upacara adat ini dilakukan secara massal dan para pelakunya terikat dalam perasaan yang sama. Upacara adat yang tergolong dalam jenis ini adalah Pujan Karo, Pujan Kapat, Pujan Kapitu atau Megeng, Pujan Kawolu, Pujan Kasanga atau Pujan Mubeng, Hari Raya Yadnya Kasada atau Pujan Kasada, dan Unan-unan atau Upacara Pancawarsa. Jenis upacara adat kedua berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang. Ada tiga siklus kehidupan yang dianggap penting dalam kepercayaan Tengger, yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian. Ketiga siklus kehidupan tersebut dianggap sebagai bentuk peringatan yang harus diselamati untuk menghindari diri dari pengaruh buruk. "Menurut masyarakat Tengger, mereka mempercayai adanya hubungan timbal balik antara kehidupan di dunia dan kehidupan di lelangit," jelas Yulianti. Jenis upacara adat yang terakhir berkaitan dengan kegiatan usaha pertanian. Upacara adat ini menjadi bentuk hubungan antara manusia dengan alam atau lingkugan sekitarnya. Baca juga Jejak Pendaki Semeru Mulai Berdatangan di TN Bromo Tengger Semeru Upacara adat yang berkaitan dengan kegiatan pertanian ini disebut juga Leliwet. Upacara ini biasanya dilakukan seseorag saat memasuki masa tanam atau panen. Leliwet juga sering dilakukan bersamaan dengan Pujan Karo. Tujuan dari Leliwet adalah memohon kepada Sang Hyang Widi agar dalam masa tanam, petani dijauhkan dari kerusakan dan roh jahat. Upacara ini juga diharapkan dapat membuat tanah menjadi subur, sehingga hasil panen melimpah. Leliwet juga diartikan sebagai rasa syukur atas hasil panen. Rumah adat dan bahasa suku Tengger Menurut Batoro dalam bukunya, rumah tradisional suku Tengger pada awalnya masih berupa rumah gubuk sederhana. Atap rumah terbuat dari alang-alang atau susunan bambu yang dibelah. Perkembangan arsitektur rumah suku ini mencerminkan perkembangan sosial budaya yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Secara adat, susunan ruang di rumah suku Tengger terdiri atas petamon atau ruang tamu, paturon atau ruang tidur, pawon atau dapur dan padmasari atau tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Widi. Baca juga 7 Wisata di Kawasan Bromo dan Semeru yang Wajib Dikunjungi Shutterstock/priantopuji Rumah tradisional Suku Tengger DOK. Shutterstock/priantopuji Rumah adat suku Tengger aslinya memiliki lantai kayu dan pintu geretan yang dilengkapi kunci kayu atau slorok. Rumah ini memiliki tiang utama yang berumlah empat sampai 12 buah. Suku Tengger menggunakan bahasa Jawa-Tengger dalam kehidupan sehari-hari. Seperti bahasa Jawa pada umumnya, ada tingkatan bahasa yang digunakan untuk menunjukkan rasa hormat. Bagi orang yang sudah akrab atau berusia seantaran, mereka biasanya menggunakan bahasa ngoko dengan logat Tengger yang khas. Sedangkan untuk menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih tua atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi, mereka akan menggunakan bahasa krama. Baca juga Viral, Lokasi Erupsi Semeru Jadi Spot Selfie, Termasuk Dark Tourism? Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.